Daerah sekeliling Borobudur itu sekarang ada yang bernama Tanjung  (Tanjungsari), Karang, Bumisegoro, Sabrangrowo, dan  sebagainya. Secara toponimi (asal-usul nama daerah), jelas mengindikasi  adanya telaga/rawa di sekitar itu.
Adalah van Bemmelen, diilhami oleh penelitiannya di wilayah Bandung  tahun 1933,
berhipotesis bahwa Telaga Borobudur terjadi akibat bendungan  piroklastika Merapi menyumbat aliran Kali Progo di kaki timurlaut  Perbukitan Menoreh. Itu terjadi sebelum Borobodur didirikan tahun  830-850. Dan adalah van Bemmelen juga yang berhipotesis (bisa dibaca di  bukunya : the Geology of Indonesia) yang menyebutkan bahwa piroklastika  Merapi pada letusan besar tahun 1006 telah menutupi danau Borobudur  menjadi kering dan sekaligus menutupi candi ini – lenyap dari sejarah,  sampai ditemukan kembali oleh tim van Erp pada tahun 1907-1911. Kalau  melihat gambar peta dan penampang geologi volkano-tektonik Gunung Merapi  (van Bemmelen, 1949), akan tahulah kita bahwa ”nasib” Borobudur  sepanjang sejarahnya telah banyak ditentukan oleh merosot-runtuhnya  dinding baratdaya Merapi.
Hasil kajian geologi yang dilakukan Ir Helmy Murwanto MSc, Ir Sutarto  MT dan Dr Sutanto dari Geologi UPN ‘Veteran’ serta Prof Sutikno dari  Geografi UGM membuktikan, keberadaan danau di kawasan Candi Borobudur  memang benar adanya. Penelitian itu dilakukan sejak 1996 dan masih  berlanjut sampai sekarang. Bahkan, tahun 2005, penelitian tentang  keberadaan danau purba itu oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi  Jawa Tengah, CV Cipta Karya dan Studio Audio Visual Puskat, dibuat film  dokumenter ilmiah dengan judul ‘Borobudur Teratai di Tengah Danau’.
Yang diteliti adalah endapan lempung hitam yang ada di dasar sungai  sekitar Candi Borobudur yaitu Sungai Sileng, Sungai Progo dan Sungai  Elo. Setelah mengambil sampel lempung hitam dan melakukan analisa  laboratorium, ternyata lempung hitam banyak mengandung serbuk sari dari  tanaman komunitas rawa atau danau. Antara lain Commelina, Cyperaceae,  Nymphaea stellata, Hydrocharis. “Istilah populernya tanaman teratai,  rumput air dan paku-pakuan yang mengendap di danau saat itu,” katanya.
Penelitian itu terus berlanjut. Selain lempung hitam, fosil kayu juga
dianalisa dengan radio karbon C14. Dari analisa itu diketahui endapan
lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun. Tahun 2001, Helmy melakukan  pengeboran lempung hitam pada kedalaman 40 meter. Setelah dianalisis  dengan radio karbon C14 diketahui lempung hitam itu berumur 22 ribu  tahun. “Jadi kesimpulannya, danau itu sudah ada sejak 22 ribu tahun  lalu, jauh sebelum Candi Borobudur dibangun, kemudian berakhir di akhir  abad ke XIII,” katanya.
Kenapa berakhir, kata Helmy, karena lingkungan danau merupakan muara  dari beberapa sungai yang berasal dari gunung api aktif, seperti Sungai  Pabelan dari Gunung Merapi, Sungai Elo dari Gunung Merbabu, Sungai Progo  dari Gunung Sumbing dan Sindoro. Sungai itu membawa endapan lahar yang  lambat laun bermuara dan menimbun danau. Sehingga danau makin dangkal,  makin sempit kemudian diikuti dengan endapan lahar Gunung Merapi pada  abad XI. Lambat laun danau menjadi kering tertimbun endapan lahar dan  berubah menjadi dataran Borobudur seperti sekarang.
Menurut Helmy, pada saat dilakukan pengeboran, endapan danaunya  banyak
mengeluarkan gas dan air asin. “Tapi lambat laun tekanannya berkurang,  dan sekarang kita pakai sebagai monumen saja,” katanya.
Ditargetkan, pada penelitian berikutnya akan diteliti luasan danau  kaitannya dengan sejarah perkembangan lingkungan Borobudur dari waktu ke  waktu, mulai air laut masuk sampai laut tertutup sehingga berkembang  menjadi danau, kemudian danau menjadi rawa dan menjadi dataran.
sumber:http://bumisegoro.wordpress.com/2007/05/29/undangan-peliputan-menapak-jejak-sang-buddha-di-asia-tenggara/
 

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar