Blogger news

Selasa, 07 Desember 2010

desa wisata, sebatas mimpi kah?

Sudah lama tidak nulis jadi tergelitik melihat ada foto anak-anak Bumisegoro di atas. Foto ini diambil tanpa izin dari wesitenya Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (http://tnp2k.wapresri.go.id). judulnya Tarian Anak di Desa Bumisegoro-Borobudur-Magelang, Upaya Sinergitas Program PNPM.
Idenya bagus, untuk mengakali keterbatasan dana, dibuatlah sinergitas antara pengembangan destinasi pariwisata dan PNPM Mandiri. Sebagaimana nampak dari foto di atas, fokus utama foto adalah dua pejabat dari instansi terkait. Pak Firmansyah Rahim (berambut putih, teknokrat dari Bappenas, sempat beberapa waktu di Setneg, staf ahli menteri Pariwisata dan kemudian menjadi Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata) dan Dr. Sujana Royat, DEA (Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang juga Ketua Pelaksana Pokja Pengendali PNPM Mandiri). Secara garis besar sinergitas 2 instansi ini hanya bagian kecil dari big picture sinergitas yang dikehendaki, sinergitas lintas stakeholder. melibatkan semua instansi dan institusi lain yang berkepentingan. Misalnya kementerian pertanian, PU, pendidikan, agama, sosial, masyarakat, pengusaha dst.  Filosofinya adalah fokus.
selama ini yang terjadi anggaran yang terbatas dibagi ke banyak titik sehingga hanya sekali datang dan kemudian hilang, tidak berbekas. Diibaratkan rintik gerimis yang tersebar di banyak tempat. Belakangan, setelah sekian lama pendekatan divergen seperti itu tidak membuahkan hasil muncul kesadaran untuk merubah pola menjadi pendekatan konvergen, melalui sinergitas, diibaratkan hujan yang “awet gede” di sedikit lokasi terpilih, dengan frekuensi dan intensitas yang memadai. Menurut hemat penulis 200 desa wisata yang menjadi “fokus” 5 tahun awal kementerian pariwisata juga masih terlalu banyak alias kurang fokus.
sinergi 2 instansi ini merupakan awal yang baik, karena selama ini kendala untuk konvergensi/sinergitas ada pada ego sektoral dari masing-masing instansi.  selain ego sektoral, secara teknis kendala muncul karena ketiadaan master plan yang menjadi jembatan di antara masing-masing pemangku kepentingan.
momentum awal yang baik ini semoga terjaga secara konsisten. karena konsistensi adalah kendala laten dalam program-program yang diinisiasi pemerintah. Untuk itu peran serta masyarakat untuk secara proaktif berpartisipasi dan mengawal menjadi kata kuncinya.
kenapa masyarakat kudu repot? karena hal ini menyangkut kesejahteraan mereka sendiri. Sebagai gambaran, di Borobudur saat ini secara resmi ada 3.500 lapak pengasong yang datang dari 20 desa sekitar. Kalau musim liburan sekolah atau lebaran, jumlah pedagang asongan bisa lebih dari dua kali lipatnya. Kalau desa wisata bisa berkembang bukannya para pengasong ini bisa menyebar, tidak tumplek blek di candi borobudur.
Hitung-hitungan kasarnya begini. Pada hari-hari biasa, jumlah pengunjung Candi Borobudur berkisar 2.000 hingga 4.000 orang per hari. Namun, khusus pada saat liburan seperti musim liburan sekolah dan Lebaran, jumlah pengunjung bisa membeludak mencapai 40.000 hi ngga 50.000 orang per hari. Anggap saja, 5 % dari jumlah pengunjung itu bisa ditarik ke desa wisata di sekitar Candi Borobudur. Bukankah masih angka yang bisa nguripi (memberi nafkah)?
salah satu faktor krusial adalah itikad baik dan kerjasama dari pengelola candi Borobudur untuk memfasilitasi sepenuhnya. Mulai dari membuka akses dari Candi Borobudur ke desa wisata di sekitarnya, menjadi dirigen pengembangan wisata kawasan, memberi bimbingan teknis dll. Intinya jadikan pengelola candi borobudur sebagai DMO, beri mereka target terkait pengembangan pariwisata kawasan dan ukur kinerjanya.


sumber:http://bumisegoro.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar