Bencana letusan gunung Merapi tidaklah datang tiba-tiba  melainkan sedah bisa diprediksi beberapa waktu sebelumnya berdasarkan  pengamatan aktivitas vulkanologi yang dilakukan para ahli, namun kenapa  masih banyak korban yang berjatuhan? Salah siapa? Sepertinya seringnya  bencana yang melanda negeri ini tidak cukup membuat kita lebih banyak  mengambil pelajaran dan hikmah dari semuanya agar kita jadikan pedoman  dimasa datang lebih arif dan cerdas dalam menangani serta menghadapi  bencana.

Seorang nenek yang tak sadarkan diri dan diselamatkan ke rumah sakit
Sistem manajemen penanganan bencana kita masih  belum bisa diandalkan, selain hanya berkutat mengurusi teknisnya saja,  antisipasi penanganan bencana mestinya juga menyentuh pola pikir dan  budaya masyarakat setempat yang seringkali justru malah kontraproduktif  terhadap penanganan dan penyelamatan masayarakat agar tidak menjadi  korban.
 
 Seorang  korban wanita di evakuasi oleh relawan
Sebanyak 64 warga Dusun Bronggan, Desa  Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, menjadi korban tewas awan  panas Gunung Merapi. Lokasi mereka berada di dalam radius bahaya 20  kilometer. Lokasi dusun ini sekitar 16 sampai 18 kilometer. Mengapa  warga yang berasal dari satu kampung itu bisa tewas tersapu ‘wedhus  gembel’? Adalah Sri Sucirathasari (18), salah seorang korban yang  selamat, memberikan pengakuan kepada media asing Associated Press, 5  November 2010.
Korban  yang berhasil selamat dari terjangan awan panas wedus gembel
Kejadian pada Jumat 5 November 2010 dini hari  itu hampir bersamaan dengan dikeluarkannya imbauan perluasan zona bahaya  Merapi dari 15 menjadi 20 kilometer. Tetapi, imbauan zona bahaya yang  diperluas itu tidak sampai ke telinga keluarga Sri Sucirathasari. Sri  mengaku, pada Kamis jelang tengah malam itu tidak ada imbauan apapun  yang diterima keluarganya. Mereka tidak diminta untuk pergi atau  mengungsi.
 
 Seorang  pengungsi yang selamat sedang mengalami masalah pernapasan karena abu  vulkanik dibantu relawan
Mereka justru terbangun dalam gelap saat  mendengar kuat gemuruh Gunung Merapi. Panik. Semua berupaya  menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda motor. Kecepatan awan panas  disebut-sebut mencapai sekitar 100 kilometer perjam. Sri tidak ikut  dalam pelarian diri menggunakan sepeda motor. Mereka yang berada di atas  motor adalah ibu kandungnya, ayah, dan adiknya Priska (12). Ketiganya  naik motor bersama dan meninggalkan Sri lebih awal.
 
 Evakuasi  para penduduk yang masih tersisa
Malangnya, lampu motor yang ditumpangi  ketiganya justru tertutup abu vulkanik yang menempel. Suasana menjadi  gelap. Motor yang dikendarai sang ayah justru melaju ke arah yang  keliru. Bukan menjauh dari wedhus gembel tapi justru sebaliknya. Suara  teriakan sang ibu masih terngiang di telinga Sri. Saat mendengar  teriakan itu, Sri menuju sumber suara. Sri keluar rumah menuju ke arah  teriakan suara dan meninggalkan kakaknya di dalam. Sang kakak tewas di  dalam rumah yang terbakar dilalap api. Sedangkan Sri tidak disebutkan  seberapa parah luka yang dideritanya.
 
 Para  pengungsi dievakuasi
“Tidak ada tanda-tanda untuk mengevakuasi  kami,” kata Sri yang pandangannya kosong menatap Priska yang mengalami  luka bakar serius di leher dan wajah. Ibu mereka masih hilang. Sang ayah  yang dirawat di bangsal lain mengalami luka bakar parah. Associated  Press menyebut total korban tewas 122 orang. Media-media di  Indonesia menulis 109 total korban tewas.
 
 Korban  yang meninggal akibat wedus gembel

Korban tewas terkena awan panas karena tak sempat menyelamatkan diri
 
  Situasi desa setelah terkena awan panas
 
  Sebuah perkuburan yang permukaannya ditutupi abu vulkanik

Korban-korban meninggal yang berhasil dievakuasi dari lokasi
Apakah ini kesalahan pejabat berwenang? “Saya  tidak tahu harus berkata apa,” jawab Sri. “Saya harus marah kepada  siapa? Hanya sedih dan sakit hati.”
sumber:http://unikboss.blogspot.com/2010/11/foto-foto-korban-gunung-merapi-yang.html 
 

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar