Oleh Desi Rinasari
Dalam menyampaikan ajarannya, Ahmadiyah sering menutupi ajaran mereka yang sebenarnya dan cenderung mengumbar kepercayaan layaknya kaum Muslim lainnya, seperti percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi akhir, dan berpedoman hidup pada Al Quran. Namun, Ahmadiyah sungguh berbeda dan bertolak belakang dengan Islam serta kehadirannya telah melecehkan ajaran Islam dan Al Quran. Lalu siapa sebenarnya Ahmadiyah itu?
Ahmadiyah dididirikan oleh seorang berdarah India yang bernama Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di desa kecil Qadian, Punjab, India (sekarag Pakistan). Akhir tahun 1890, ia mempublikasikan dirinya sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau’ud (Al Masih) yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengakui dirinya sebagai nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa ia adalah Al Masih dalam wujud lain. Namun, sayangnya ciri-ciri Nabi Isa sedikit pun tidak berpihak padanya, pertama dia bukan orang Arab melainkan India, kedua sebagaimana janji Allah dalam Al Quran bahwa semua manusia akan beriman saat Nabi Isa turun dan sebagian berpaling saat ia wafat, sama sekali tidak sama dengan kisah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, serta banyak lagi pertentangan-pertentangan tentang Isa yang ditafsirkannya. Kuatnya keinginannya menjadi sosok Al Masih serta dihubung-hubungkan Islam dengan penafsirannya yang keliru tentang Isa (Al Masih) telah melencengkan Islam ke arah Kristiani. Mirza Ghulam menganggap Nabi Isa telah wafat tersalib. Menurut klaimnya, makam Nabi Isa ditemukan di desa Mohalla Khan Yar, Srinagar, Kashmir. Pernyataan tersebut berdekatan dengan faham umat Kristen yang menganggap Nabi Isa disalib. Pendapat ini tentu berseberangan dengan Al Quran yang mengatakan Nabi Isa masih hidup dan tidak pernah disalib.
Selain menggambarkan dirinya sebagai Nabi Isa (Al Masih) yang menurut firman Allah akan turun ke bumi menjelang akhir zaman, ia juga menganggap nama Muhammad dalam Al Quran ditujukan padanya yaitu Ahmad (Muhammad). Dalam buku Memperbaiki Kesalahan (Eik Ghalthi Ka Izalah), karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialihbahasakan oleh H.S. Yahya Ponto, (terbitan Jamaah Ahmadiyah Cab. Bandung, tahun 1993). Di buku tersebut dituliskan “dan 20 tahun yang lalu, sebagai tersebut dalam kitab Barahin Ahmadiyah Allah Taala sudah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud beliau juga,” (Hal. 16-17). Muhammad (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad) inilah yang diakui umat Ahmadiyah sebagai rasul untuk menutupi keimanan mereka terhadap Imam Mahdi itu, sehingga penyimpangan terhadap Islam tidak terciumi umat Muhammad. Hal itu dibuktikan dari tulisan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dalam buku yang sama yaitu, "Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad dan Rasul…(hal. 5).
Dalam hidupnya sebelum menjadi nabi palsu, ia sering bertemu dengan individual Kristiani, Hindu, ataupun Sikh dalam perdebatan publik. Ia dianggap sebagai sosok yang toleran terhadap segala agama sehingga lingkungan keagamaan tertarik padanya. Tak heran ia memiliki banyak nama yang ditujukan untuk tiap agama, seperti Al Masih untuk umat Kristiani, Imam Mahdi bagi umat Islam, dan Krisha bagi umat Hindu. Kehadiran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengemban misi menyatukan agama di bawah satu payung ajaran yang dibawanya. Pengikut Imam Mahdi itu menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan suatu aliran baru dalam Islam. Ajaran yang dibawa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu bertumpu pada Al Quran dan meniru praktik syariah yang dibawa Nabi Muhammad, tetapi sebaliknya dalam kitab suci ”Tadzkirah” jelas tertulis bahwa ”Ahmadiyah bukan suatu aliran dalam Islam, tetapi merupakan suatu agama yang harus dimenangkan terhadap semua agama-agama lainnya termasuk agama Islam.” Artinya aliran itu merupakan musuh Islam.
Tazkirah merupakan kitab suci jemaah Ahmadiyah yang berisi wahyu Tuhan untuk Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Dalam kitab Tazkirah itu terdapat banyak ayat-ayat Al Quran yang dibajak. Nama Nabi Muhammad pun diganti dengan nama Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Salah satu contoh Firman “Tuhan” dalam “kitab suci” Tadzkirah adalah yang berbunyi “Dan Kami tidak mengutus engkau-wahai Mirza Ghulam Ahmad-kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. (kitab suci “Tadzkirah” hal. 634).
Kitab ini merupakan kumpulan wahyu-wahyu ”Tuhan” sebagai pedoman bagi mereka (pengikut Ahmadiyah) sebagaimana Islam berpedoman pada Al Quran. Kehadirannya jelas untuk mnyingkirkan ajaran Al Quran. Tetapi, Allah Maha Tahu dan sebelum kitab itu dibuat, Allah swt telah berfirman dalam Al Quran : “Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri lalu dikatakannya: Ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaanlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah 79). Ahmadiyah bukan hanya memelintirkan ayat Al Quran tetapi juga melencengkan tafsiran hadist.
Selain nabi dan kitab suci yang berseberangan dengan Islam, umat Ahmadiyah pun memiliki tempat suci yang berbeda dengan Islam untuk melakukan rukun lima, ibadah haji. Seperti diketahui umat Islam di seluruh dunia melakukan ibadah haji di Mekkah, namun kalangan Ahmadiyah ini melakukannya di Rabwah dan Qadiyan yang terletak di India.
Selain wahyu, Imam Mahdi juga mengaku mendapat ilham dari Tuhan pada tahun 1888, untuk membai’at orang-orang. Pada tanggal 23 Maret 1889, pembaitan terhadap 40 orang tersebut pun dilakukan di rumah seorang mukhlis bernama Mia Ahmad Jaan, tepatnya di kota Ludhiana. Baiat tersebut diawali dari Hakim Maulana Nur-ud-Din, yang akhirnya menjadi Khalifah pertama Jemaat Ahmadiyah setelah meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad. Khalifah pertama yang memiliki julukan Hakim Maulana Nur-ud-Din itu terpilih pada tanggal 27 Mei 1908 sampai 13 Maret 1914 . Selanjutnya diikuti oleh Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad sebagai Khalifatul Masih dua (14 Maret1914—7 November1965), Mirza Nasir Ahmad, Khalifatul Masih tiga (8 November1965—9 Juni1982), Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih empat (10 Juni 1982—19 April 2003), Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih lima 22 April 2003—sekarang.
Karena perbedaan keyakinan terhadap kerasulan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Ahmadiyah pecah menjadi dua aliran yaitu Anjuman Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadiyan) yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai rasul dan Anjuman Ishaat Islam Lahore (Ahmadiyah Lahore) yang menggap Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) dan bukan seorang nabi.
Di tanah kelahirannya, Ahmadiyah tidak diterima dengan baik karena penyimpangan-penyimpangan ajarannya yang dapat merusak generasi Islam. Pakistan mengizinkan aliran itu berkembang di sana, tetapi sebagai agama di luar Islam, bukan sebuah aliran dalam Islam. Pengucilan itu membuat mereka lari ke Negara-Negara Eropa Barat dan melebarkan sayapnya di sana. Ajaran spiritual Mirza Ghulam Ahmad yang menyerupai Kristen itu membuat orang-orang Eropa yang mayoritas Nasrani tertarik pada ajaran Ahmadiyah.
Ahmadiyah merupakan organisasi keagamaan internasional. Aliran jemaat ini telah tersebar di 185 negara lebih di dunia dan memiliki cabang di 174 negara seperti Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia dan Eropa, termasuk Asia dan Indonesia. Namun karena terdapat penyelewengan terhadap Zislam dalam ajarannya, jemaah ini dikecam dan tidak dibenarkan di beberapa Negara seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Di Indonesia sendiri, aliran ini menuai prokontra dari masyarakat. Perbedaan pendapat ini sempat memicu kerusuhan antara FPI dan kubu Gus Dur, yang dikenal berpaham pluralis.
Ahmadiyah Masuk Indonesia
Setelah mendapat undangan dari Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah yang pernah belajar di perguruan Ahmadiyah Pakistan, Khalifatul Masih II, Hadhrat Alhaj Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad memerintahkan Maulana Rahmat Ali HAOT dari Qadian, India untuk membawa ajaran ini ke Indonesia pada tahun 1925 dengan nama Anjuman Ahmadiyah Qadiyan Departemen Indonesia. Terdapat dua golongan Ahmadiyah di Indonesia yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dikenal dengan Ahmadiyah Qadiyan, dan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GIA) yang dikenal dengan Ahmadiyah Lahore.
Setelah Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan bahwa orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir, Djojosoegito pun diberhentikan dari Muhammadiyah. Kemudian, pada tanggal 4 April 1930 secara resmi ia membentuk dan menjadi ketua pertama dari gerakan Ahmadiyah Indonesia. Organisasi ini pun disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).
Beberapa kalangan dari Ahmadiyah sering mengatakan bahwa aliran itu sebagai pembaharu dalam Islam dan mereka percaya bahwa nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Tetapi Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terlihat jelas dalam kitab suci Ahmadiyah, Tazkirah yang menyatakan “Dialah tuhan yang mengutus rasulnya “Mirza Ghulam Ahmad” dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas segala agama-agama semuanya.(“Kitab suci Tadzkirah” hal. 621) Penyimpangan itu akhirnya memaksa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat pada tahun 1980. Pernyataan itu pun dipertegas dengan fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2005.[]
Penjelasan
Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) Tentang Pokok-Pokok Keyakinan dan Kemasyarakatan Warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia
1. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW yaitu, Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.
2. Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup).
3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai'ât yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah.
5. Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa:
3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai'ât yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah.
5. Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa:
a. Tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturun-kan kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.
b. Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.
6. Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).
7. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
8. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.
9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun.
10. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai Muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan peraturan-perundang-undangan.
11. Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturrahim dan bekerjasama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
12. Dengan penjelasan ini, kami Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.
Jakarta, 14 Januari 2008
7. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
8. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.
9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun.
10. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai Muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan peraturan-perundang-undangan.
11. Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturrahim dan bekerjasama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
12. Dengan penjelasan ini, kami Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.
Jakarta, 14 Januari 2008
PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
H. Abdul Basit
Amir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar